TRADISI LEBARAN DESA, IBADAH DAN KUATKAN UKHUWAH


Lebaran dalam bahasa Indonesia di artikan sebagai hari raya umat islam. Lebaran lebih identik dengan peringatan hari raya Idul fitri yang jatuh pada tanggal 1 Syawal dalam penanggalan Hijaiyah. Perayaan lebaran identik dengan ibadah, pemberian hadiah, berkunjung ke sanak saudara, tetangga, rekreasi, mudik maupun macet.


Secara umum terdapat beberapa ibadah dan tradisi yang biasa dilaksanakan oleh kaum islam di desa diantaranya berziarah, sholat Id, dan bermaaf-maafan. Semua ibadah dilakukan secara bersama-sama ini dapat menjadi media habluminallah dan habluminannas.

Di berbagai daerah, khususnya di Wonosobo berziarah merupakan hal yang selalu dilakukan sebelum melakukan sholat Id. Setelah sholat subuh masyarakat berbondong-bondong datang ke makam untuk mengunjungi saudara yang telah meninggal. Dipimpin oleh pemuka agama setempat, masyarakat secara bersama-sama mendoakan kerabat serta muslimin dan muslimat yang telah meninggal. Acara tersebut diikuti dengan membersihkan makam kerabat dengan menyapu ataupun mencabut rumput yang tidak perlu.

Sekitar pukul setengah tujuh pagi masyarakat datang ke masjid, lapangan, ataupun hingga jalan. Dengan sajadah mereka yang digelar sebagai alas, mereka menunaikan ibadah sholat Id dan mendengarkan khotbah dari khotib.

Sebelum meninggalkan masjid mereka bersalam-salaman satu per satu, dengan mengucap:

Shalallah ‘ala Muhammad          Shalallah ‘alaihi wassalam

Shalallah ‘ala Muhammad          Ya Robbi shalli wassalam

Suasana haru bahagia tertera disana, banyak yang menangis karena teringat anak dan sanak saudara tak bisa pulang sementara ataupun selamanya (red: meninggal).

Tradisi unik yang tidak dapat terlepas dari lebaran adalah sungkeman. Tradisi ini biasanya dilakukan oleh anak ke hadapan orang tuanya atau seseorang kehadapan yang lebih tua darinya. Sungkeman yang dilakukan pertama kali adalah kepada orang tua karena untuk menunjukkan tanda bakti, rasa terima kasih atas bimbingan selama hidup dan permohonan maaf atas kesalahan yang diperbuat selama satu tahun kemarin. Sungkem dilakukan dengan cium tangan, menundukkan kepala dan posisi badan jongkok lebih rendah dari orang yang di-sungkem-i.

Berikut merupakan kata-kata yang orang Jawa biasa lontarkan pada prosesi sungkeman lebaran:

A : Ngaturaken Sugeng Riyadi, sedoyo lepat kulo nyuwun ngapunten.

B : Ya, pada-pada. Wong tua akeh lupute. Muga-muga dosane sampean lan kulo lebur ing dina riyoyo niki. Muga-muga paring istiqomah, diparingi ilmu sing barokah, cepak jodone, lancar rejekine.

Sebagian golongan menganggap bahwa tradisi ini tidak sesuai dengan ajaran agama islam. Padahal jika dilihat dari hukum asal sungkeman sama sekali tidak bertentangan dengan syariat. Posisi jongkok pada saat sungkem menandakan rasa hormat kepada orang yang lebih tua. Syariat tidak melarang selama tidak melakukan gerakan serupa dengan sholat seperti ruku’ maupun sujud. Sedangkan dari sisi tradisi sungkeman harus dilestarikan sebagai tanda budi pekerti seseorang terhadap orang lain.

Sungkeman dilakukan pada saat silaturahmi dari rumah ke rumah. Silaturahmi biasanya diakukan selama 7 hari dari rumah ke rumah, antar desa, antar kecamatan, bahkan antar kota dengan mendatangi sanak keluarga yang dianggap lebih tua. Dalam bahasa Jawa terdapat beberapa istilah untuk menamai tradisi ini, ada yang tetap mengatakan silaturahmi, medayoh, ujung, dan masih banyak lagi.  Uniknya meskipun sudah berjumpa dan telah bersalaman dan meminta maaf saat di masjid, di jalan ataupun di rumah orang lain, orang-orang akan tetap berkunjung dari rumah ke rumah baik ke tetangga maupun saudara.  Agar lebih afdhol tetap harus datang di rumah sendiri untuk melakukan sungkem tersebut.

Satu keluarga besar biasanya berkeliling dari pintu ke pintu mengucap salam dan meminta maaf. Tidak hanya itu, tamu yang datang akan disuguhi teh hangat atau sirop dan jajanan khas lebaran yang berderet lebih dari 15 macam isi toples di atas meja. Setelah berbincang sebentar tamu tidak akan bisa pulang sebelum menyantap makanan di meja makan.

Bagi mereka yang membawa anak kecil akan sering rewel karena sehari dapat mengunjungi hingga 20 rumah. Anak-anak rewel karena kelelahan berkeliling  maupun malas karena tidak tahu makna sebenarnya dari silaturahmi ini. Orang tua memang tidak menerangkan apa makna dari tradisi ini. Yang anak-anak tahu hanya ikut, makan jajan dan biasanya dapat amplop gambar kartun berisi uang. Banyak remaja sekarang yang lebih memilih tinggal di rumah dibanding ikut orang tuanya untuk berkeliling.

Sebenarnya kesempatan ini adalah waktu yang tepat agar anak-anak berkenalan kepada sanak saudara yang jarang bertemu agar tetap terjalin silaturahmi. Meskipun saudara jauh, harus tetap menjaga ukhuwahnya. Kapan lagi jika bukan hari raya semua keluarga dapat berkumpul, karena pada zaman sekarang orang-orang lebih mementingkan pekerjaannya dan kadang lupa untuk bersosialisasi dengan tetangga maupun sanak saudara.

Apa kabar jika anak-anak sebagai penerus keluarga tidak paham dengan silsilah keluarganya sendiri. Hubungan yang selama ini dijalin oleh pendahulu kita hilang begitu saja karena anak yang dibiarkan tergerus oleh zaman tanpa mau bersilaturahmi langsung dengan saudaranya.

“Manusia sebagai makhluk sosial harus tetap melakukan sosialisasi, bukan hanya lewat sosial media tetapi harus ada tatap muka karena kita sebenarnya hidup di dunia nyata bukan dunia maya.”- Hawa Nur Rahima.

Komentar

Postingan Populer