DILEMA KEIKHLASAN GURU HONORER

 

Mau ikhlas tidak yhaa? Ayo lhoo

Berapa waktu yang lalu, saya sebagai sarjana muda dengan gelar sarjana pendidikan ini melewati masa yang amat membingungkan. Hampir setengah tahun berpikir keras, eh kelamaan cuk, sekitar 4 bulan mungkin. Menjadi seorang sarjana dengan gelar pendidikan alangkah baiknya menjadi seorang guru, yee kan?? Tapi dalam hati yang paling dalam, sebagai manusia yang masih mengalirkan darah muda, tetap memikirkan materi dan realistis. Yaa kali, saya kuliah lama, banyak keluar duit, eh jadi guru gajinya cuma 500ribu perbulan, uang saku kuliah aja sejuta perbulan belom UKT per semester, gimana saya bisa ngembaliin uang orang tua kalo gajinya cuma segitu? 

Alhasil dari buah pemikiran itu saya mencoba untuk melamar pekerjaan di luar bidang pendidikan, jadi costumer service misalnya. Untungnya dari begitu beberapa surat lamaran yang saya kirimkan, hanya satu yang memanggil untuk interview. Itu pun tidak ada panggilan selanjutnya. Hahaha. Saya sadar, dunia pekerjaan seperti itu lebih memprioritaskan bagi calon pekerja yang sudah berpengalaman atau minimal punya latar belakang yang sesuai. Apalagi di kota kecil yang sekarang saya tinggali, lapangan pekerjaan sangat terbatas. Banyak sih sebenarnya, tapi jadi waiters. Eh, masak S1 jadi waiters, apa kata tetangga? Abote ngurus omongan tangga..

Semakin galau saja nih. Sebenarnya setelah lulus saya langsung menyerahkan lamaran sebagi guru di sekolah almamaterku dulu. Eh, belum butuh. Tertampar satu kali. Sempat ikut tes CPNS juga, eh anda belum beruntung, silakan coba lagi. Tertampar kembali. Bukan beban masa depan yang saya pikirkan, tapi beban mental untuk mengembalikan jasa kerja keras orang tua selama ini dan tentunya menghadapi tetangga. Hahaha. Setelah mendapatkan hasil  usaha mencari kerja bukan semangat kerja yang menggelora, tapi depresi mulai melanda yang dibumbui dengan adanya pandemi. Berbagai pertimbangan dipikirkan setiap hari. Apa mau melamar jadi guru? Apa mau jadi wirausaha saja? Eh jurusan guru masa tidak jadi guru? Sebenarnya pilihan mau jadi apa tidak ada yang salah. Cuma... Hmmm...

Memang dari dulu sudah digaungkan terus menerus “guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa”, ya, memang tidak ada tandanya sekalipun itu reward yang “sesuai”. Anggapan mereka yang benar mengapresiasi kerja keras guru honoror sangat menyayangkan gaji guru, karena dibandingkan dengan mbak-mbak penjaga toko pun sepertinya masih jauh. Tapi ini merupakan anggapan mereka yang masih memikirkan uang itu segalanya bagi kehidupan. Upss...

Sisi lain, banyak yang beranggapan bahwa mengajar adalah sebagai sodaqoh jariyah dari para guru (terutama honorer). Mungkin sebagian guru honorer akan mendinginkan pikiran dengan anggapan-anggapan yang demikian dan kemudian mencoba ikhlas. Lho... Tapi jika masih memikirkan mengajar itu adalah sodaqoh, kemudian berpikir amal jariyah nanti adalah satu yang menyelamatkannya di akhirat, ada proses serah terima, berarti masih berdagang dengan Tuhan dang? Bukannya itu namanya belum ikhlas juga? Ikhlas itu artinya niat perbuatan tulus tanpa pamrih kan? 

Apa tidak lebih baik jika meluruskan niat mengajar agar bisa bermanfaat bagi orang lain? Seperti dalam suatu hadis Rasulullah bersabda “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain”(HR Ahmad, At-Thabrani, Ad-Daruqutni). Yaelah mendalil. Tidak perlu timbang menimbang perbuatan baik yang sudah dilakukan, memangnya anda tahu Tuhan memberikan ganjaran atau tidak? Tuhan tidak akan memberikan notifikasi seperti konfirmasi pelanggan yang menunjukkan bukti pembayaran.

Guru itu dalam bahasa Jawa merupakan singkatan dari “digugu lan ditiru”. Karena saking sak karepe dewe-nya, saya merasa tidak pantas untuk digugu apa lagi sampai ditiru. Itu yang membuat saya tidak yakin bisa jadi guru. Lagian kuliahku sambil tidur, materi yang diajarkan masuk ke mimpi dan kemudian lupa. Yah, jangan ditiru. Tapi suatu saat saya membaca suatu quote “ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang dibagikan”, ada lagi “Ilmu itu akan dipahami ketika sudah diajarkan kepada orang lain”. Nah dari sini semangat mengajar mulai tumbuh. Ditambah dengan wejangan dari guruku terdahulu yang mengatakan apa yang sudah dipahami saat kuliah eman-eman kalau ditinggalkan begitu saja, jika sudah punya bisnis itu jadikan sebagai sampingan, basicnya tetap dijalankan. 

Finally, tahun ajaran baru saya menjadi guru di sekolah swasta berbasis pondok di dekat rumah. Dengan masih mempertimbangkan jarak dan tetap realistis menjadi honorer yang tidak keblabasan ikhlas sampai tombok. Hahaha. 

jumat, 21-8-2020


Komentar

Postingan Populer